Tanggal-tanggal kritis-sensitif, jadi mending diaktualisasikan daripada memenuhi pikiran. Points of interest: planning, anticipating, facing d-day, watching, thinking, enjoying the 2 days, and finalizing the end.
Planning
Bought tickets, changed the task schedule, looked for additional player. Rasanya sudah benar memilih tanggal kepergian: tidak bertugas di paduan suara, hanya 1 jadwal tugas di hari tsb, dan menghindari cross jadwal dengan jadwal ortu. What a perfect plan..
Anticipating
Mengatur petugas pengganti 1,5 minggu sebelumnya rasanya sudah cukup untuk menghindarkan diri dari kekacauan. Perubahan rencana untuk Jumat sore cukup membantu sehingga tidak akan menarik perhatian banyak orang.
Facing d-day
Tapi ini yang terjadi: di hari H ada tugas yang harus dikumpulkan, di hari H ada teman yang merayakan satu tahap hidup yang berhasil dilewatinya dengan baik, di H+1 ada acara khusus yang sebenarnya harus dihadiri, di hari H+1 ada undangan yang seharusnya aku ada di situ. Di hari H+1 pula dihubungi untuk pertemuan yang sebenarnya rutin di hari itu.
Apa artinya? Artinya hal-hal di atas membuat bertanya kepada diri sendiri: seberapa penting kepulangan ini di banding semua yang harus ditinggalkan? Apa yang sebenarnya dituju? Orangtua, “rumah”, … ya.., dua hal itu.. yang sepadan dengan besar biaya, sepadan dengan besar tenaga, yang harus dikerahkan.
Setiap kali meragukan keputusan untuk pulang kali ini berakhir pada dua hal yang menurutku sepadan itu tadi. Ujung dari pertarungan dalam pikiran yaitu bahwa menurutku pilihan ini tidaklah salah. Di lain pihak, ada penguatan pengakuan bahwa ada saat-saat tertentu dimana menghindar dari tugas adalah pilihan yang diputuskan untuk diambil. Seakan seperti lari (?). Entahlah..
Watching
Check apakah Anda termasuk di antara yang dibicarakan below.
Sang A. Beberapa hari sebelum pulang baru tahu bahwa ada account sang A, di sebelah sang B yang adalah ibu dari anaknya. Sebenarnya apa yang ada dalam pikiran A dan B? Sampai harus menerobos keputusan otoritas, merasa lebih benar dari sang otoritas, sehingga terus melawan, sampai tulisan ini dibuat. Sebuah konsep yang tidak pernah diizinkan untuk dilakukan oleh setiap anak yang hanya akan ada karena peran sang otoritas, menurut Firman Tuhan yang aku percaya.
Sang C dan orang-orang sejenisnya. Di hari H+1 yang jelas-jelas adalah hari untuk menyembah Tuhan, bahkan sama sekali tidak menunjukkan komitmen untuk menghormati Sang Pencipta. Mengapa terlambat datang? Mengapa santai-santai saja melakukannya hampir setiap kali aku tahu? Tidak bisakah melihat teladan yang sudah diberikan oleh orang-orang lain yang berusaha datang tepat waktu? Sang teladan tepat waktu bukan sekali dua kali kalau mereka sedang ingat. Mereka hampir selalu tepat waktu. Baru satu contoh ini saja, tepat waktu, adalah salah satu pembuktian penghormatan kepada Tuhan. Belum bila bicara mengenai kerelaan merendahkan diri, belajar Firman Tuhan, dll, dsb, dst.
Sang D adalah seseorang yang menggambarkan pejuang yang ragu. Kesempatan tidak selalu datang seperti yang kita harapkan. Tinggal bagaimana kita melihatnya sebagai suatu peluang yang bisa kita ambil untuk meraih sesuatu yang kita harapkan. Seberapa tangguh dia hadapi berbagai tantangan kemarin, membuat aku berpikir 1000x lagi untuk memilihnya. Keraguannya untuk tegas membuat dia bukan menjadi pilihan yang harus aku pertimbangkan. Setidaknya untuk waktu-waktu dekat ini. Pikir-pikir, hal-hal seperti itu yang membuat standar tetap terlampau tinggi untuk dicapai orang-orang.
Thinking
Pulang menguatkan keyakinan bahwa Tuhan tetap memelihara anak-anakNya. Real experience yang membuat kesaksian ortu jadi hidup, karena mereka hidup di dalamnya, mereka hidup dengan pengalaman itu. Demikian juga pada akhirnya diri sendiri setelah melihat ke belakang, mengenai bagaimana Tuhan menyertai dan mencukupi.
Enjoying the 2-days and finalizing the end
Tepatnya 38 jam bersama orangtua adalah jauh lebih dari sepadan dengan harga tiket dan dengan segala yang sudah ditinggalkan. Not just about the home-made meals, but more than that. It’s about a family. Hebat Tuhan kita yang menciptakan “fitur: sense of belonging ” ini di dalam diri manusia dan keluarganya. Keluarga yang membuat kita bisa saling memberi dan menerima kasih, keluarga yang bisa membuat kita menitikkan air mata saat sedih ataupun senang. Keluarga yang membuat kita bukan sebagai orang asing.
No comments:
Post a Comment