Ya, itulah gambaran calon suami ideal di dongeng negeri antah berantah. Biasanya ditambah adegan sayembara kerajaan karena sang putri jatuh sakit.Tapi itu sekedar imajinasi. Realitanya saya merantau, dari kota kecil di Jawa Tengah ke bumi Parahyangan. Jauh dari saudara, jauh dari orangtua. Tempat kerja seakan menjadi rumah kedua, lingkungannya seakan menjadi saudara baru. Saya staf administrasi di sebuah yayasan pendidikan di kota Bandung.
Bertemu dengan orangtua murid adalah biasa saya jalani setiap hari. Sampai suatu hari Jumat di bulan Oktober 2010 datang seorang pemuda diantar seorang kawan ke kantor saya. Pikir saya, mereka ada keperluan berkaitan pekerjaan saya.
Setelah pembicaraan selesai saya masih diliputi tanda tanya apa maksud kedatangan mereka.
Di akhir minggu itu, hari Sabtu malam, datang pesan singkat di telepon seluler saya. Ternyata dari sang pemuda, mengajak makan malam, Sodara-sodara.. Tanpa pikir panjang saya balas pesan tersebut, saya sampaikan maaf karena tidak bisa bertemu saat itu. Mengapa tiba-tiba ada seorang yang baru saya kenal mencoba mendekati secara personal? Tanya saya yang masih begitu polos waktu itu dalam hati. Kejadian 2 hari itu saya bawa dalam doa sambil bertanya-tanya apa maksud semua itu.
Hari Senin saat kembali masuk kerja saya ceritakan kejadian tersebut ke sahabat saya. Barulah saya disadarkan oleh sahabat saya untuk membuka hati kepada sang pemuda. Saya kirim pesan singkat saya kepadanya meminta kesempatan lagi untuk membangun hubungan baik. Ternyata sang pemuda sudah jauh di pulau seberang untuk kembali bekerja.
Bulan berikutnya baru kami kembali bertemu. Berusaha saling mengenal dalam waktu yang sempit. Pekerjaan di Kalimantan membuatnya hanya bisa pulang ke Bandung seminggu dalam sebulan. Di luar pertemuan itu kami terus saling kontak melalui telepon, sms, dan surat elektronik.
Kesamaan tujuan kami menjalin hubungan, yaitu untuk berumahtangga, membawa kami kepada rencana menikah. Bulan April 2011 orangtua kami bertemu menentukan tanggal pernikahan. Dua bulan kemudian tepatnya 27 Juni 2011 kami menikah.
Waktu yang singkat untuk sebuah hubungan pra nikah. Dalam waktu tersebut bisa dihitung dengan jari berapa kali kami bertatap muka. Tantangan jarak yang terpisah jauh dan waktu yang sempit harus kami hadapi dalam persiapan pernikahan kami. Nekat? Ya dan tidak. Ya, saat melihat data jumlah pertemuan kami. Bukan nekat karena kami menyadari konsekuensi masing-masing dan adanya dukungan penuh orangtua kami.
Orangtua kami ikut ambil bagian dalam 'perjodohan' ini. Sebelum pertemuan pertama kami di atas ternyata ayah dari sang pemuda sudah lebih dulu menemui saya, tanpa saya sadari. Beliau seakan menjadi agen rahasia garis depan, melakukan survey, melaksanakan observasi, atas rekomendasi dari para sahabatnya.
Ibu saya sudah lama ikut berjuang demi anak perempuannya ini bertemu pasangan hidupnya. Setiap hari ibu mendoakan perkara penting ini dan beberapa waktu lamanya berpuasa untuk saya. Hal ini mengingat usia saya yang mendekati 30 ditambah kondisi kesehatan ibu yang sudah menurun karena kanker, diramu dengan fakta bahwa diantara kami tiga bersaudara tinggal saya yang belum menikah.
Dalam rencana saya, suami saya adalah teman dekat saya. Dalam impian saya, calon pasangan hidup saya adalah sahabat dimana kami biasa bertemu dan bekerjasama dalam satu komunitas yang sama. Kenyataan ternyata tidak sejalan dengan skenario saya. Suami saya adalah pria yang baru saya kenal. Sekarang kami memiliki 2 anak perempuan. Perbedaan-perbedaan di antara kami menjadi hal yang tetap harus dijembatani supaya masalah dalam berumahtangga dapat terselesaikan. Seringkali kami tertawa saat kami berargumen, menertawakan perbedaan kami. Tapi itulah yang membuat kami tertantang untuk terus mengarungi samudera kehidupan berumahtangga dalam satu bahtera utuh, sampai maut memisahkan. Tuhan, terimakasih untuk setiap jawaban doa yang Tuhan beri. Tolonglah kami, sertailah kami sampai akhir. Amin.
No comments:
Post a Comment